Kisah Tragis Sang Penggagas Republik

Tan Malaka mungkin hanyalah salah satu dari sekian banyak pahlawan di negeri ini yang terlupakan. Namanya tidak pernah muncul di buku pelajaran sejarah di sekolah-sekolah, meskipun gelar pahlawannya tidak pernah dicabut. Selama lebih dari tiga dasawarsa rezim Orde Baru seolah-olah melabur hitamkan nama Tan Malaka dari panggung pergerakan kemerdekaan hanya karena ia menganut paham Marxisme dan pernah menjadi ketua Partai Komunis Indonesia (PKI), partai yang paling dibenci, dan kemudian ‘dihabisi’ oleh penguasa Orde Baru.


Tan Malaka lahir di Suliki, Sumatera Barati pada tahun 1897 dengan nama asli Ibrahim. Ipie, sapaan akrab Ibrahim, kemudian menerima anugerah gelar Datuk Tan Malaka pada tahun 1912 sebagai raja di Nagari Pandan Gadang. Tan Malaka kecil merupakan anak yang sangat cerdas, dan karena kecerdasannyalah Tan mendapat kesempatan untuk belajar di sekolah guru Harleem di Belanda. Adalah G.H. Horensma, seorang warga Belanda yang telah menganggap Tan sebagai anaknya sendiri, yang berjasa dalam mencatatkan nama Tan Malaka sebagai orang pribumi pertama yang sekolah di negeri penjajahnya, Belanda.

Kehidupannya di Belanda inilah yang kemudian mempengaruhi perkembangan pemikiran Tan Malaka ke arah pola pikir Marxis. Selain karena rajin membaca Koran-koran yang berhaluan “kiri”, kondisi Harleem, kota tempat Tan belajar, yang menyuguhkan kemiskinan dan depresi ekonomi serta pengalaman hidup di rumah satu keluarga proletar malang di kota itu telah ‘menjerumuskan’ pemikiran Tan Malaka semakin ke arah “kiri”. Tan sadar akan adanya jurang yang luas dan dalam antara golongan borjuis dan proletar.
“Tiba-tiba saya berada dalam semangat dan paham yang lazim dinamai revolusioner.” Tutur Tan Malaka seperti yang dituliskannya dalam buku Dari penjara ke Penjara.

Ideologi Marxisme yang diyakini Tan Malaka tersebut telah merubah secara drastis jalan hidupnya. Ia tidak lagi bisa menjalani kehidupan secara normal seperti orang kebanyakan. Hal ini terbukti setelah ia mampu menyelesaikan pendidikannya sebagai guru selama enam tahun dan kembali ke tanah air. Baru satu tahun kembali ke Indonesia, Tan Malaka harus kembali lagi Belanda. Namun kali ini dengan status sebagai orang buangan. Tan dibuang ke Belanda pada tahun 1922 karena aktivitas politiknya sebagai pemimpin PKI. Namun hal tersebut tidak lantas membuat Tan putus asa, melainkan justru menambah kemantapan hatinya untuk berjuang melawan kapitalisme dan imperialisme yang semakin menyengsarakan dan menindas masyarakat proletar.

Selama pengasingannya di luar negeri, Tan Malaka aktif dalam organisasi Komintern (Komunis Internasional) yang dipimpin oleh Vledimir Lenin, seorang ‘dewa’ komunis yang berkedudukan di Moscow. Secara memukau Tan menyampaikan pidatonya selama lebih dari lima menit di depan kongres Komintern keempat di Moscow, dalam hal ini Tan Malaka bertindak sebagai perwakilan Indonesia. Kala itu Tan menekankan pentingnya kerja sama dengan kaum Muslim dunia (Pan-Islamisme) untuk melawan kapitalisme. Meskipun gagasannya ini tak didukung, tetapi pidatonya mendapat tepukan gemuruh peserta kongres. Tak hanya sampai disitu, Tan bahkan diangkat sebagai wakil Komintern untuk wilayah Asia Timur. Untuk itu, pada tahun 1923 Tan Malaka pindah ke Kanton, sekarang Guangzhou, kota di selatan Cina yang padat.

Di sela-sela tugasnya sebagai agen Komintern itulah Tan Malaka menulis sebuah brosur panjang yang berjudul : Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia). Dalam kata pengantar, dia menulis :”Jiwa saya dari sini dapat menghubungi golongan terpelajar (intelektuil) dari penduduk Indonesia dengan buku ini sebagai alat.” Melalui buku ini Tan Malaka tercatat sebagai tokoh pertama yang menggagas secara tertulis konsep Republik Indonesia, jauh lebih dulu disbanding Muhammad Hatta, yang menulis Indonesia Vrije (Indonesia Merdeka) sebagai pledoi di depan pengadilan Belanda di Den Haag pada 1928, dan Bung Karno, yang menulis Menuju Indonesia Merdeka pada 1933. Buku Tan Malaka ini terbit di Kanton pada tahun 1925, namun sayang hanya beberapa eksemplar saja yang sampai di Indonesia. Tan malaka kembali mencetak tulisan panjang itu ketika dia berada di Filipina pada Desember 1925. Cetakan kedua inilah yang kemudian menyebar di Indonesia dan menjadi referensi bagi pejuang-pejuang lain seperti Muhammad Yamin dan Bung Karno.

Bung Karno sangat mengagumi Tan Malaka dengan menyebutnya sebagai ‘seorang yang mahir dalam revolusi’. Bahkan Bung Karno sempat membuat testamen lisan yang isinya akan menyerahkan kekuasaan kepada Tan jika ia ditangkap oleh sekutu, meskipun selanjutnya dilemahkan oleh Hatta dengan menambahkan tiga nama lagi, yaitu Sjahrir, Iwa Koesoema Sumantri, dan Wongsonegoro.

Setelah sekitar 20 tahun berada dalam pengasingan di luar negeri, Tan Malaka akhirnya berhasil pulang ke Indonesia dengan menyelinap melalui Medan pada 10 Juni 1942. Saat itu Tan menggunakan nama samaran Legas Husein. Di Indonesia, perjuangan Tan semakin keras dan berapi-api untuk mewujudkan kemerdekaan yang seratus persen dan tanpa kompromi. Ia sangat tidak setuju jika kemerdekaan Indonesia nanti diperoleh sebagai hadiah dari Jepang.

Di masa sebelum proklamasi, Tan Malaka menyamar sebagai Ilyas Hussein. Dengan nama ini dia bekerja sebagai kerani (juru tulis) di pertambangan batu bara di Bayah, Banten. Disini, Tan alias Ilyas Hussein menyaksikan sendiri nasib Romusha yang sangat memprihatinkan. Romusha mendapat upah 40 sen dan 250 gram beras setiap hari. Uang 40 sen saat itu hanya cukup untuk membeli satu buah pisang. Tan mencoba menggalang pemuda untuk memperbaiki nasib romusha dengan menggagas dapur umum yang menyediakan makanan bagi seribu romusha. Di tempat ini jugalah Tan, yang kala itu sedang menyamar, pernah membantah pidato Bung Karno yang meminta rakyat agar membantu Jepang dalam peperangan karena telah berjasa mengusir Belanda dari tanah air.

Tak hanya sampai disitu saja, peran Tan Malaka juga sangat besar dalam menggerakkan pemuda untuk menggelar rapat raksasa di lapangan Ikada (sekarang kawasan Monas) pada 19 September 1945, atau sekitar sebulan setelah proklamasi kemerdekaan. Rapat ini memiliki nilai yang sangat penting karena merupakan simbol dukungan massa yang pertama kali terhadap proklamasi kemerdekaan yang waktu itu belum bergema keras dan masih terkesan ‘hanya di atas kertas’. Setelah rapat ini, perlawanan terhadap Jepang kian berani dan gencar.

Namun, semua perjuangan dan hasil buah pikir Tan Malaka selama ini tidaklah menjadi bahan pertimbangan ketika secara sepihak bung Karno memenjarakannya selama dua setengah tahun tanpa pengadilan. Tidak hanya sampai disitu, jalur gerilya yang dipilih Tan untuk mempertahankan setiap jengkal wilayah Indonesia yang semakin terkikis oleh agresi Belanda dan politik diplomasi yang ditempuh oleh pemerintah Indonesia justru membawanya kepada kematian. Tan Malaka mati ditembak oleh seorang prajurit dari batalion Sikatan karena dituduh telah melawan Soekarno-Hatta.

Sebuah kisah yang memilukan di tengah perjalanan suatu bangsa dalam mencari jati dirinya. Seorang bapak bangsa yang telah menghabiskan separuh dari umurnya dalam pelarian untuk kepentingan kemerdekaan, justru hidupnya harus berakhir tragis di tangan tentara Republik yang dicita-citakannya.

Munirul Ichwan